MAAFKAN JIKA AKHIRNYA BERUBAH


Oleh Beni Yasin Guntarman

sikapmu membuatku berubah pikiran

haling sudah rasa simpati dan empati

hilang sikap penghargaan pada dirimu

begitu lama kutunggu, tak jua berubah

 

sudahlah puan, nikmati saja sepimu

nikmati saja segala kepedihan hatimu

itu semua buah keangkuhan jiwa

diri yang tak mau mengakui salah

 

percuma kau berkata bijak

sementara hatimu penuh amarah

di mana pun, cinta sejati itu

tak pernah menyatu dengan benci

 

izinkan aku berlayar ke pulau lain

melupakan segala hal tentang dirimu

kalau toh memang Tuhan kehendaki

tak kan kemana-mana gunung dikejar

———-

Batam, 15 Juni 2019.

 

 

ANDAI KAU MENGERTI


Oleh Beni Yasin Guntarman

Kalu kau tahu dan mengerti diriku, ketika kupandang bulan di atas bukit, memandang anyelir di sudut sana, mendengar suara burung rawa di  senja hari, merasakan angin laut sepoi-sepoi di Teluk Mata Angin, semua itu membawaku kepadamu. Semua yang ada: cahaya, angin, aroma, suara, bahkan kesunyian seakan berpihak kepadamu. Dalam tatap semua kenangan yang terbayang di mata,  aku tertuduh  sebagai pihak yang salah, seolah-olah aku yang sengaja menyingkirkan dirimu dari kehidupanku.

 

tanpa suara

pelan pelan menjauh

seekor capung

 

Kukira sudah cukup waktunya bagiku untuk berpikir dan berharap kau kembali.  Jika kau berhenti mencintaiku, aku akan berhenti mencintaimu.  Jika kau melupakanku, aku  akan melupakanmu.

 

Angin berhembus dari arah teluk. Membawa kabar berita yang tak pasti. Aku tak mengerti apa hal yang menyebabkan dirimu begitu marah.  Mungkin ada kabar angin yang menyesatkan pikiranmu. Terlepas apa pun penyebabnya, jika bulat keputusanmu meninggalkan diriku, detik ini juga kulepas tanganmu dari genggam tanganku.  Jika itu memang mau dirimu, maka biarkan aku berlayar mencari negeri lain.  Tapi jika kau masih berpikir hal sebaliknya, tidak ada yang mampu menghentikan langkahku menjauh darimu kecuali kau nyatakan suara hatimu.

 

masih terlihat

meski tertutup semak

bunga anyelir

namun sebagai simbol

maknanya telah pudar

————-

Batam, 09 Juni 2019.

 

 

 

 

 

75 TANKA KARYA BENI YASIN GUNTARMAN


#1

ditiup angin

ke pojok-pojok lembah

o dandelion

bagaikan benih hati

mencari ladang kata

 

#2

gemuruh sungai

dari tingginya gunung

pada sisinya

orang pun jadi tahu

betapa singkat hidup

 

#3

meski sekejap

mengisi langit malam

oh kembang api

keindahan yang fana

singkat dan melenakan

 

#4

kembali muncul

meski terhalang kabut

bulan di gunung

andai kau pun hadir

mungkin satu pikiran

 

#5

ketika senja

bahkan elang yang jauh

menuju rumah

kemana arah langkah

pasti menuju pulang

 

#6

menatap lembah

meski di puncak gunung

rasa di bawah

di atasku rembulan

tidak terjangkau tangan

 

#7

berserak-serak

terbang terbawa angin

dedaun kering

tak lebih diri ini

akan begitu juga

 

#8

jelas terlihat

saat tiada riak

bulan di kolam

bagai cerahnya jiwa

tak ada yang berubah

 

#9

mentari senja

kini telah menghilang

di kejauhan

muncul sepi lainnya

bukit-bukit berkabut

 

#10

fajar menghilang

bulan tetap di langit

tak ada jejak

muncul pikiran baru

sisa mimpi semalam

 

#11

terlihat hening

dalam sorot rembulan

bunga anyelir

namun siapa tahu

perihnya dalam hati

 

#12

seekor merba

dengan rumput di paruh

sekarang jelas

gersangnya musim ini

isyarat bagi burung

 

#13

tetiba datang

namun cukuplah deras

hujan pertama

meski hanya sekejap

menyapu debu kalbu

 

#14

jelas terdengar

saat semakin reda

tetesan hujan

bagaikan laju waktu

berdetak dalam hati

 

#15

segala sudut

diterangi olehnya

bulan purnama

seperti sedap malam

dengan keharumannya

 

#16

begitu dekat

menyorot rawa gelap

bulan purnama

seorang pria hilang

dari dalam dirinya

 

#17

mataku jelas

namun tak melihatnya

suara jangkrik

apakah ada tempat

tak terdengar tangisan?

 

#18

seluas bumi

tercermin di dirinya

sebutir embun

namun sebagai jalan

sepenuhnya abadi

 

#19

menghias senja

mekar di lembah sunyi

bebunga liar

hadir pada waktunya

bukan untuk dikenang

 

#20

yang terlupakan

dikatakan yang kalah

namun mereka

tegak dengan akunya

betul-betul yang kalah

 

#21

dia di sana

dengan jati dirinya

pohon kelapa

tumbuh di  tepi pantai

tabah dihantam ombak

 

#22

mekar sempurna

berlumur embun pagi

bunga anyelir

dalam nama dan rupa

tak lebih dari awan

 

#23

bahkan rembulan

ada dalam naungnya

teratai putih

tatapan penuh damai

meski memendam rindu

 

#24

bening bergema

dalam gelapnya rawa

suara burung

tangisan seseorang

sedang mencari jalan

 

#25

jauh di sana

tepat di puncak gunung

bulan bersinar

masih sebesar sabit

melukai hatiku

 

#26

oh siapa pun

kan tersapu arusnya

ombak utara

perahu yang melayang

gagal bertahan lama

 

#27

kesendirian

tak seharusnya dingin

bertumpuk bara

hangat menjalar hati

dua bukit terbakar

 

#28

tiada jejak

semua penuh semak

kurintis jalan

namun beribu duri

tumbuh di dalam hati

 

#29

berputar arah

menyentuh bunga bakung

o kupu-kupu

hendak ke mana terbang

taman ini rumahmu

 

#30

terlihat anggun

dalam kejelasannya

bulan purnama

tinggi martabat diri

dalam kesedihannya

 

#31

ada banyak hal

tersimpan dalam hati

di puncak bukit

bebunga liar mekar

dalam tangis tonggeret

 

#32

jatuh di lengan

dalam air mataku

terlihat bulan

meski di balik awan

namun tetap bersinar

 

#33

kupikir bebas

dari hal menyedihkan

di rawa kering

tangisan ruak ruak

menyambut malam jatuh

 

#34

semenjak benih

kurawat dan kusiram

jati berbunga

saatnya tuk tersebar

tanpa selamat tinggal

 

#35

bulan sendiri

dari tempat berbeda

di pikiranmu

andai sama dirasa

hati kita menyatu

 

#36

tiada jejak

muncul banyak pikiran

bulan di awan

namun di dalam hati

tetap tak tergoyahkan

 

#37

keterbatasan

bukan jadi penghalang

mata hatiku

melihat dengan jelas

bulan di balik gunung

 

#38

tiada henti

menandai jalanku

ke tengah rimba

namun rumit cintamu

membuatku tersesat

 

#39

semua mati

bahkan seluas lembah

namun terdengar

membangkit rasa sedih

angin kering kemarau

 

#40

ya tahu diri

tak berpikir menuduh

kebisuanmu

rasa pahit yang kental

larut dalam kopiku

 

#41

dalam lamunan

melihatnya di sungai

oh kunang kunang

kutitipkan rinduku

untuk bulan di sana

 

#42

masuk muara

sungai mengalir lambat

ke kejauhan

dari mereka kabut

naik ke langit fajar

 

#44

pulau terpencil~

di pantainya yang sunyi

merenung diri

makna kesendirian

bulan di atas ombak

 

#45

melayang jauh

menuju bola surya

o dandelion

janji benih terucap

sua di awal musim

 

#46

masih tersisa

pada daun dan tanah

hujan pertama

bagai sejuk kasihmu

menenangkan jiwaku

 

#47

membangkit rasa

bahkan ketika senja

setangkai mawar

memberi warna hari

segar dalam vas bunga

 

#48          

merindukanmu

bukan sekedar rasa

semua terang

bagai rembulan ini

terlihat mata hati

 

#49          

mungkinkah lupa

namun bunga sakura

berkata banyak

dalam tatapan kita

sekarang musim semi      

 

#50          

sayup di pohon

dalam gelapnya fajar

suara burung

tangisan hati kecil

merasakan cahaya

 

#51

telah terbuka

akan terus merekah

kelopak mawar

bagai rasa hatiku

dalam keharumanmu

 

#52

perlahan-lahan

saat angin bertiup

awan berkumpul

datang tuk membersihkan

bintang-bintang di hati

 

#53

andaikan rawa

oleh rerumput liar

tak tersembunyi

akan tampak keduanya:

bulan di awan perak

 

#54

angin bertiup

dari semak belukar

di dalam debu

jatuh beserta daun

sehelai bulu burung

 

#55

disorot bulan

rata di atap lalang

dedaun kering

bahkan seekor pungguk

merasakan sedihnya

 

#56

tiada embun

bahkan air mata pun

berhenti jatuh

namun angin kemarau

merindukan yang lebih

 

#57

kutatap jauh

laut sepi yang luas

sebuah sampan

sayup-sayup terlihat

mencapai pantai awan

 

#58

sepi di bukit

namun rindu di hati

ingat anyelir

angin sejuk berhembus

di alang-alang layu

 

#59

jauh di sana

namun jelas bergema

suara elang                                                   

bagai jerit hatiku

memanggil satu nama

 

#60

terabaikan

terdampar tersisihkan

bebuih putih

namun sebagai garam

mengalir di nadiku

 

#61

lembut bersinar

di sela-sela ombak

oh ubur-ubur

mari datang mendekat

kudengarkan kisahmu

 

#62

telah terhapus

tersapu pasang senja

sepasang jejak

namun sebagai kisah

mewarnai hidupku

 

#63

bahkan tonggeret

menunjukkan arahku

setiap langkah

menuju ke hatimu

disambut kicau burung

 

#64

‘tuk terpinggirkan

dalam gejolak ombak

bebuih putih

namun sebagai garam

mengalir di nadiku

 

#65

datang berlari

bersama pasang malam

ombak utara                                                 

bahkan segenap rasa

lenyap dari hatiku

 

#66

tanpa suara

di sudut danau sepi

sepasang angsa

bahkan seekor katak

menikmati heningnya

                                                                          

#67

semakin gelap

malam di gelas kopi

namun di sana

dalam bola matamu

berkilau mutiara

 

#68

hening cemara

siapa yang mengerti

embun di daun

berulang kali jatuh

oleh angin yang dingin

 

#69

bahkan si buta

kan tergerak hatinya

suara burung

jernih bening bergema

dalam gelapnya rawa

 

#70

sinar temaram

pada dermaga sunyi

deburan ombak

menghanyutkan harapan

rinduku tak  bertepi

 

#71

semua hening

bahkan suara jangkrik

di pikiranku

satu nama menghilang

dan berpindah ke bulan

 

#72

bagiku jelas

tatap bola matamu

terasa dingin

bahkan dalam kopiku

bulan pun kesepian

 

#73

masih di sana

tetap di atas bukit

bulan bersinar

bagai tulus cintamu

menyinari malamku

 

#74

bulan bersinar

di celah ranting pinus

pungguk bertengger

tak ubahnya diriku

masih memikirkanmu

 

#75

perlahan pasti

hujan terlah berlalu

terasa panas

namun lihat di sana

dandelion berbunga

 

@Tanka_byg2019

 

 

BIODATA PENULIS

 

Beni Yasin Guntarman, Lahir di Pendopo (Pali), Sumatera Selatan pada tanggal 31 Maret. Kini bermukim di Batam. Kontributor dalam antologi Tanka Indonesia dari KAK Group, Antologi 1000 Tanka Indonesia dari NewHaiku Group, Antologi Haiku Indonesia Musim ke 1,2,3, dan 4 dari NewHaiku Group; Kontributor Haiku Anthologi vol 2 and vol 4, vol 5 from Haiku Column Group. Haiku University of Tokyo, Kontributor  Antologi Haiku: Herbier-Haikus Graines de Vent by Vents de Haiku Prancis; Admin di Grup Tanka Indonesia dan Grup Haiku NewHaiku; Instructur and Coach Haiku, Haiku Column Group, Haiku University of Tokyo, Japan; Kontributor Antologi Negeri Poci 7;  Antologi Negeri Poci 8, Komunitas dari Negeri Poci Grup, dll.

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

JIKA HARUS MELUPAKANMU


Oleh Beni Yasin Guntarman

Aku mengembara

di lembah sunyi tak bernama

untuk mendengar

apa yang tak pernah kudengar

untuk melihat

apa yang belum pernah kulihat

untuk mencium

apa yang belum pernah kucium

 

Diantara bukit dan lembah

diantara langit dan bumi yang damai

setiap jengkal langkah kakiku

setiap sudut arah yang kupandang

penuh dengan bayangan wajahmu

bahkan dalam sudut tersunyi di hatiku

bergema namamu

 

Oh Anyelir

kuhimpun dalam perjalananku

yang terbaik dari lembah yang subur

dari puncak-puncak bukit yang indah

ketulusan alam semesta

keindahan yang tak terlukiskan

semuanya bercerita tentangmu

bunga yang tak pernah layu di hati

 

Kadang-kadang aku tak mengerti

kenapa ada permusuhan

tapi memang malam adalah selubung

misteri jarak ruang dan waktu

antara yang tersembunyi dan yang nyata

antara hati dan ucapan

antara rindu dan marah

antara sayang dan benci

masih mungkinkah rembulan di sana

dapat mendamaikan hati kita?

 

Dan ketika tiba di persimpangan

kutatap dua arah yang berlawanan

kembali kudengar tawa dan tangismu

semua terasa pilu di hati

mulutku bernyanyi  menghibur diri

saat merenungkan yang terbaik

bagi semuanya

kau harus dengarkan aku

bahwa cintaku padamu tak pernah padam

dan jika harus melupakanmu

biarlah rasa pahit ini

kutelan sendiri!

_____

Batam, 04 Juni 2019.

 

HUJAN DI AKHIR BULAN MEI


Oleh Beni Yasin Guntarman

Win, malam ini kutulis lagi puisi

kusisir setiap kata demi kata

agar tak membangkit kenang tentangmu

kutekuk setiap huruf

agar tak ter-eja menjadi namamu

namun tetap saja bergema

suara hatimu memanggilku

dalam kesunyian malam yang hening

membangkitan rindu tak berkesudahan

 

Sudahlah, tiada yang perlu kau sesali

bukankah itu jalan yang kau pilih

siapa suruh menyimpan rindumu

siapa suruh dirimu menyendiri dalam sepi

bukankah telah berkali-kali kukatakan padamu

saling memaafkan itu jauh lebih baik

tiada benci tiada dendam dan tiada air mata

kita hadapi hari-hari depan dengan damai

mengalir sebagaimana sebuah sungai mengalir

dan kita akan bermuara pada laut yang sama

menjadi gelombang menjadi bebuih ombak

untuk terdampar pada pantai yang sama

untuk bertemu dengan keheningan abadi

 

Win, malam ini kutulis lagi puisi

isyarat yang tersembunyi dalam hujan di akhir Mei

hanya engkau dan aku yang tahu maknanya!

____

Batam, 31 Mei 2019.

 

MERENUNGKAN SEORANG SAHABAT


Oleh Beni Yasin Guntarman

“Kenapa aku masih mengingatmu, sahabat?” tanyaku dalam hati.  Akhirnya aku harus bertanya kepada diri sendiri karena masih sering memikirkannya. Di satu sisi dia tidak memberi respon apa pun atas keinginanku untuk kembali menjalin persahabatan dengan dirinya.  Namun pada sisi lain, aku tahu persis bahwa masih ada kontak batin antara kami berdua.

Sekitar dua bulan lebih kami tidak lagi saling bicara sebagai sahabat yang sangat dekat satu sama lain. Terlepas dari apa pun latar belakang masalahnya, jelas ada rasa kehilangan yang kualami. Biasanya sehari-hari ada teman tempat saling berbagi cerita tentang hati satu sama lain, tiba-tiba tidak ada lagi hadirnya. Sebetulnya kami sudah sama-sama menyadari bahwa kami tidak bisa berbicara lebih jauh tentang rasa saling memiliki. Kami hanya menjalani apa yang bisa kami jalani berdua, berjalan sebagai mana air sungai mengalir. Tidak perlu menjadi arus yang besar, namun yang penting tetap mengalir. Terserah pada Yang Maha Mengatur mau jadi seperti apa akhirnya.

Sebuah pertengkaran yang melelahkan akhir terjadi. Hanya disebabkan oleh hal-hal yang sepele, yang sebetulnya dapat kami sikapi secara bijak, akhirnya kami putus hubungan tali persahabatan.  Setelah merenungkannya sedemikian rupa, akhirnya aku berkesimpulan bahwa aku tidak bisa menyalahkannya sebagai faktor penyebab, malah lebih cenderung menyalahkan diri sendiri. Namun  tidak baik juga bila larut dalam rasa menyesal. Semuanya sama-sama merasa  telah berbuat yang terbaik bagi persahabatan kami. Namun akhirnya harus terhenti di suatu titik maka hal itu tidak sepenuhnya dalam jangkauan kami.  Lebih baik menatap realitas yang ada ketimbang buang-buang waktu untuk meratapi yang sudah tidak ada.

Rasa kesepian kembali merayapi hati. Namun saat-saat merasa kesepian itulah ingatan tentang dirinya kembali muncul. Awalnya kutepis sedemikian rupa dengan mengatakan kepada diri sendiri bahwa itu cuma ilusi. Ya aku tidak ingin terjebak dalam ilusi atau halunisasi. Makanya kulawan dengan kesadaran bahwa apa pun di dunia fana ini tidak ada yang abadi. Perlahan-lahan semuanya mengendap, menjadi bahan kaji diri sejauh apa aku mampu lepas dari kemelekatan yang pada intinya itu semua adalah “kosong”.

Ketika semuanya terasa telah mengendap, justru ingatan tentang dirinya tidak juga hilang.  Sepertinya ini bukan ilusi, sepertinya ini suara hati yang saling memanggil. Lalu kutanya kepada diri sendiri: Sesungguhnya apa yang kuharapkan darinya? Apa yang dia harapkan dari diriku? Mungkin aku hanya membutuhkannya sebagai sahabat. Mungkin dia pun hanya membutuhkan diriku sebagai sahabat. Jika itu cuma kebutuhan untuk memiliki seorang sahabat, kenapa harus dia, kenapa tidak bisa digantikan oleh orang lain? Mungkin karena kami memiliki banyak kesamaan pikiran yang jadi faktor pemicunya.

Tetapi jawaban itu tidak membuatku merasa yakin bahwa cuma itu faktor penyebabnya. Mungkin rasa percaya dirinya sedang “down”. Mungkin dia sedang membutuhkan seseorang tempat bertanya tentang haiku atau tanka yang sedang ingin didalaminya. Mungkin dia sedang membutuhkan seorang sahabat yang bersedia mendengarkan semua keluh kesahnya. Mungkin dia sedang membutuhkan seorang sahabat yang bisa menguatkan hatinya untuk kuat bertahan menghadapi berbagai masalah yang terus-menerus dihadapinya.  Kesimpulannya bahwa dia masih butuh seorang sahabat namun besar kemungkinan dia masih trauma dengan pertengkaran dulu yang membuat kami sama-sama merasa lelah.  Mungkin karena itu sampai detik ini dia masih bersikeras tidak mau terhubung lagi dengan diriku. Namun mungkin sisi lain hatinya malah menghendaki hal yang sebaliknya.

Sama-sama merasa tersakiti, bagiku rasa sakit itu sudah tak terpikirkan lagi. Demikan juga rasa memiliki, aku pun telah introspeksi diri sedemikian rupa agar tidak terjebak dalam “kemelekatan” yang dapat memperbudak diri. Setiap saat aku siap untuk melanjutkan kembali persahabatan jika dia masih menghendaki, dan siap melupakan berbagai hal yang membuatku sangat marah di masa lalu.  Semua telah terjadi dan tak terhindari, kenapa pula mesti digenggam dalam pikiran ? Tidak ada gunanya lagi menilai baik-buruk apa yang telah terjadi. Semua itu adalah kenyataan yang hanya perlu disadari bahwa itu pernah ada dan tidak perlu diulangi kembali. Siap bersahabat lagi dengan membuka halaman baru, dengan “mind set” yang baru mungkin lebih bijak ketimbang membiarkan diri larut dalam kecemasan, kebencian, atau pun dendam yang tak berkesudahan.

Apa arti sahabat? Engkau datang menggenapkan dan engkau pergi mengganjilkan bilangan. Tidak untuk kepuasan diri, tapi untuk memegang tanganmu ketika engkau terpeleset jatuh, untuk membangkitkan semangatmu ketika engkau merasa lemah, untuk membuatmu merasa bermakna karena ada yang membutuhkanmu.  Ketika dirimu merasa lelah dan jenuh, kehadirannya merupakan suntikan semangat bagimu. Ketika engkau merasa sendirian di dunia ini maka kehadirannya bukan merupakan bayang-bayang diri yang bisu. Kehadirannya merupakan teman seperjalanan yang membesarkan hatimu bahwa engkau dan dirinya sama-sama tengah berjalan menuju ke arah yang benar.

 

ada di sana

terbang berputar-putar

oh kupu kupu

mari datang ke sini

bunga ini rumahmu

———-

Batam, 30 Mei 2019.

PIKIRAN ZEN (4)


Sepanjang Hari Dengan Pikiran Zen

Dari saat kita bangun dari tempat tidur, mencuci muka, bekerja, berpikir, berjalan, mengemudi, makan, berbicara … sampai kita pergi tidur, ini adalah bentuk kita sehari-hari. Kadang-kadang kita bahagia, kadang kita merasa kesepian, kadang kita bersemangat, kadang kita merasa bosan … dan kita merasa bahwa semua ini begitu nyata. “Bukankah itu nyata?”, kita mungkin bertanya dalam hati.  Namun itu semua tidak senyata yang kita rasakan.

Kadang-kadang kita menyebut “kehidupan nyata” seperti ini sebagai “kejadian alami atau normal”, karena kita begitu yakin telah melakukan itu semua secara alami. Tetapi ketika kita menghadapi tantangan atau mendengar berita, kita tidak berpikir itu tidak wajar dan normal. Faktanya, “normal” tidak sealami yang kita kira, dan “tidak normal” adalah sealami “normal”.

Kita merasa urusan sehari-hari adalah alami dan normal, karena kita pikir kita telah mengulangi hal yang sama. Jika kita membandingkannya lebih hati-hati, kita akan menemukan itu tidak mungkin untuk diulang dan kita hanya mengulangi tindakan konseptual awal, yang kita anggap sama seperti sebelumnya, tetapi mereka tidak. Karena semuanya berubah sepanjang jalan.

Kita tidak benar-benar mengalami saat-saat kehidupan, kita dibutakan oleh formasi kesadaran kita. Ketika kejadian tiba-tiba muncul di luar “formasi kesadaran normal”, kita pasti akan merasa kesal atau bahkan marah. Ini bukan hanya karena munculnya bentuk-bentuk “baru” di luar “formasi kesadaran normal”, tetapi juga karena kita berpikir “formasi kesadaran normal” milik kita. Jadi ada konsep lain “Aku” yang membuat dan melaksanakan formasi kesadaran. Kita menyebut konsep “Aku” ini sebagai “ego” – keberadaan yang melekat. Jika kita tenang dan melambat untuk mengamati gerakan dan perasaan kita, kita akan menemukan itu hanya refleksi dan kesinambungan pikiran kita; dan ketika kita melihat kembali ke dalam kesadaran dan pemikiran kita, perubahan mereka tergantung pada perubahan penyebab dan kondisi dalam dan luar.

Jika kita ingin mengalami kehidupan nyata, kita harus membebaskan diri kita dari “konsep realitas” yang membentuk formasi kesadaran kita untuk merasakan apa yang sebenarnya kita rasakan dan untuk menyadari apa yang sebenarnya kita pikirkan …

Selama meditasi duduk, kita selalu terganggu oleh rasa sakit, sakit, gatal atau  mati rasa pada bagian-bagian tubuh. Kita menganggap mereka sebagai musuh yang ingin menghancurkan konsentrasi kita, dan mencoba untuk melawan mereka. Tetapi sebenarnya mereka tidak memiliki niat untuk membuat kita kesal, hanya diri kita sendiri yang memandang mereka sebagai musuh. Sikap permusuhan semacam ini adalah penyebab penderitaan.

Sejak dahulu kala, kita membagi hal dan perasaan menjadi dua jenis: suka dan tidak suka. Ada beberapa suka dan tidak suka yang umum bagi kebanyakan orang, ada juga suka dan tidak suka yang sangat pribadi. Seperti formula, ketika kita bertemu dengan orang-orang yang kita sukai. Ketika kita bertemu dengan orang yang tidak kita sukai, kita merasa kesal atau bahkan menanggung penderitaan. Tetapi kadang-kadang kita mungkin memiliki pengalaman seperti ini: kita bertemu sesuatu yang kita sukai, tetapi kita tidak merasa bahagia, dan apa pun yang kita lihat, kita hanya merasa sedih. Karena kita telah “mengatur” pikiran kita. Ini mungkin menyiratkan bahwa semuanya mungkin netral; pikiran kita yang membuatnya lebih “berwarna” atau “menyakitkan”. Jadi itu berarti apakah kita dapat menderita saat ini atau tidak tergantung pada sikap seperti apa yang kita pilih untuk menghadapinya dan bertahan. Itu juga berarti formula itu dapat diubah oleh pikiran kita.

Saat kuncinya adalah pada kontak pertama pertemuan dengan “sakit fisik” (rasa sakit, gatal, mati rasa, sakit kepala, penyakit …) atau “sakit mental” (kecemasan, ketakutan, kebencian …); di sini kita menggambarkan rasa sakit dalam arti yang lebih luas. Pada saat pertama kita seharusnya tidak “terburu-buru” untuk menerima rasa sakit, untuk menderita, tetapi untuk membaca rasa sakit dengan kesadaran objektif, untuk mengalami karakteristik rasa sakit dan perasaan langsung dari tubuh dan pernapasan. Sehingga kita tidak akan “ditelan” oleh rasa sakit tetapi untuk merangkulnya dengan perhatian penuh. Ini menunjukkan bahwa ada kemungkinan bagi kita untuk tidak memilih untuk menderita. Soliditas mengikuti atau menggunakan formula masih ada, tetapi masih menghadapi menantang dan mulai menurun. Meskipun perhatian kita tidak cukup kuat pada awalnya, setidaknya dapat membantu kita untuk menunda pengambilan penderitaan dan mengurangi rasa sakit.

Sampai suatu hari kita menemukan bahwa suka dan tidak suka terbuat dari preferensi subjektif, yang melayani “diri yang melekat” – asumsi keberadaan yang melekat, dan mengenalinya adalah akar dari penderitaan. Hanya ketika kita menggali akar penderitaan – “diri yang melekat”, maka penderitaan tidak akan muncul lagi.

Pernafasan akan menemani kita sampai kematian kita, jadi itu selalu ada jika kita masih hidup. Karena itulah Zen mengajarkan kita untuk mulai dari bernafas. Hidup kita tergantung pada pernapasan, dan latihan kita tergantung pada hidup kita. Jadi ketika kita berkata: “tidak ada waktu untuk berlatih”, kita harus bertanya pada diri sendiri: “apakah kamu punya waktu untuk bernafas?” Pernafasan dapat memberitahu kita banyak hal, dan bahkan semua tentang kehidupan!

Ketika kita telah melakukan perhatian pada bentuk pernapasan – perut naik dan turun untuk jangka waktu tertentu, kita akan secara bertahap melihat melalui bentuk ke dalam realitas batin pernapasan kita, yang dapat dibagi menjadi dua bagian: bagian fisik dan bagian mental.

Tentang bagian fisik: ketika kita bernafas, angin masuk dan mendukung perut untuk membuatnya lebih penuh, pandangan naik. Ketika kita bernapas, angin keluar dan perut menjadi lebih rata, pandangannya turun.

Tentang bagian mental: ketika pikiran akan menyebabkan nafas masuk (kesadaran), angin mulai mengalir masuk, kita bisa merasakan perut lebih tegang (perasaan), pandangan naik, pikiran kita merasakan perubahan ini sebagai bentuk pernapasan dalam (persepsi), maka pikiran akan mempertahankan bentuk ini terus sampai kita merasa ada cukup angin di dalam perut (pembentukan mental). Kemudian pikiran akan menyebabkan nafas-keluar (kesadaran), angin mulai mengalir keluar, kita bisa merasakan perut lebih longgar (perasaan), pandangan menurun, pikiran kita melihat perubahan ini sebagai bentuk pernapasan keluar (persepsi), dan akan mempertahankan bentuk ini terus sampai kita merasa tidak ada cukup angin di dalam perut (pembentukan mental).

Pernapasan adalah daur ulang terus menerus yang terdiri dari bentuk fisik dan mental bersama. Kita mungkin bertanya siapa yang memutuskan untuk menyimpan daur ulang ini. Ini adalah proses fisik dan mental secara keseluruhan, tanpa keberadaan yang melekat. Kita dapat menggunakan cara pandang dan pemahaman yang sama untuk melihat ke dalam bentuk lain apa pun dalam kehidupan kita sehari-hari.

Manusia hidup dengan alam dan kehidupan kita didasarkan pada alam sehingga kita harus berhati-hati dan memikirkannya ketika kita mengatakan “kita bisa melampaui alam”. Kita harus mengamati hal-hal yang kita makan, hal-hal yang kita buat, tubuh kita sendiri, dan bahkan seluruh masyarakat. Tidak ada yang dibuat dari alam. Ketika kita berpikir kita bisa melampaui alam, kita akan menjauh dari alam. Ini adalah ide yang salah untuk membutakan kita dari mengenali wajah sejati alam dan karakteristik nyata dari diri kita.

Alam dapat membawa kita lebih tenang dan damai karena memiliki lebih sedikit kemelekatan, alam juga membawa kita ketakutan dan kekhawatiran karena kita penuh dengan ketakutan dan kekhawatiran dalam diri kita sendiri. Jadi, apa pun yang dibawa alam kepada kita, itu akan memberikan momen yang mencerahkan sekaligus. Tetapi itu tergantung pada seberapa banyak kita dapat mendengarkan alam. Sifat alami tidak pernah berubah atau diubah: “alam berubah sepanjang waktu, ia dimanifestasikan oleh sebab dan kondisi yang muncul bersama, dan semua manifestasi tidak pernah memiliki ego yang ada secara inheren. “Saat kita menghadapi gunung dan air terjun yang damai, tersenyum dengan gembira; saat menghadapi tornado, kita dikejutkan dengan rasa takut; tetapi alam tidak memiliki niat apa pun untuk menyenangkan atau membuat kita ngeri. Pada saat-saat ini, kita tidak hanya tidak menyadari sifat alami,

Hanya ketika pikiran kita menjadi cukup tenang, cukup stabil, cukup bersih dan cukup jernih, kita dapat melihat esensi alam yang lebih dalam. Tujuan dari mempraktikkan perhatian benar adalah untuk menumbuhkan pikiran intuitif-bersih-jernih, untuk melihat Alam secara langsung, memahami Alam tanpa keterikatan dan mengalami Alam dengan jelas.

Secara bertahap, kita akan menemukan bahwa alam adalah cerminan dari pikiran manusia, alam akan selalu mengikuti kita, seperti bayangan kita. Jika seseorang ingin mengatakan: “itu bukan urusan saya, itu orang lain salah …”, kita harus berpikir dengan hati-hati. Sayangnya kita tidak dapat mengingat semua yang telah kita lakukan sebelumnya, atau bahkan kehidupan kita sebelumnya. Apa pun yang terjadi di dunia ini, kita harus melaksanakannya sebagai tanggung jawab bersama. Jika setiap orang dapat selalu tinggal dengan damai dan tenang, alam pasti akan mengikuti kita.

Ada ungkapan populer dari para guru Zen Tiongkok: “Wù-Kōng-Guò — Jangan sia-siakan kehidupan sehari-hari Anda.” Ini berarti bahwa seluruh hidup penuh dengan peluang untuk mewujudkan pencerahan kedamaian dan kemudahan, jangan biarkan mereka melewati telapak tangan kita dalam hidup kita!

Bagaimana kita menghabiskan sepanjang hari dengan cara Zen? Di pagi hari, ketika kita merasa tubuh kita bangun dan membuka mata, jangan terburu-buru untuk duduk dan bergegas ke kamar mandi. Tetap sejenak untuk merasakan perasaan seluruh tubuh kita, rasakan pernapasan perut kita, dan tanyakan pada diri sendiri “apakah ini sama dengan ‘aku’ seperti kemarin ‘aku’?” Pokoknya, baik untuk tetap hidup 🙂 Kemudian cari yang cocok cara duduk untuk menghindari menyakiti punggung, leher, pergelangan tangan dan bahu, dan pada saat yang sama menjaga kesadaran yang jelas pada proses duduk kita: ingin – perasaan duduk – duduk – duduk. Lakukan dengan cara yang sama untuk berdiri, berjalan ke kamar mandi, mencuci muka, menyikat gigi …

Saat kita sarapan, jaga kesadaran dengan jelas. Saat kita melihat hidangan berwarna-warni, ketahuilah bahwa kita melihat dan perasaan melihat. Saat kita memegang pisau dan garpu, ketahuilah bahwa kita memegang dan perasaan memegang. Ketika berpikir akan makan, ketahuilah bahwa kita berpikir untuk makan. Saat kita merasakan makanan, ketahuilah bahwa kita sedang mencicipi makanan dan rasa makanan itu. Ketika kita berpikir makanannya enak, ketahuilah bahwa kita berpikir makanannya enak. Ketika kita akan makan lebih banyak, ketahuilah bahwa anda berpikir untuk makan lebih banyak. Saat kita merentangkan tangan untuk meraih makanan, sadarilah prosesnya: ingin – perasaan meregangkan – meregangkan …

Ketika meninggalkan rumah, kita memeriksa semuanya dalam kondisi baik. Saat pergi, kita tetap waspada: memegang pintu – menutup pintu – mengunci pintu – melepas kunci – memutar badan – turun tangga …

Saat kita mengendarai mobil atau mengendarai sepeda, jaga kesadaran yang jelas tentang apa yang kita lihat di sekitar kita dan gerakan mengemudi atau mengendarai. Jika duduk di dalam taksi, kita akan memiliki waktu untuk mengatur pernapasan, menjaga kesadaran yang jelas tentang naik dan turunnya perut dan perasaan naik turun. Saat keluar dari taksi, waspadai gerakan kita dan periksa bahwa tidak ada yang tersisa di kursi.

Selama bekerja, ketika mata merasa lelah, jelas tahu perasaan kelelahan mata kita, berikan lebih banyak pernapasan ke mata atau tutup mata kita untuk istirahat, sampai rasa lelah hilang. Lakukan dengan cara yang sama jika kita sakit kepala, sakit leher, atau sakit pinggang … Ketika merasa bosan dengan apa yang kita lakukan, tetap waspadai perasaan bosan, sampai perasaan bosan menurun. Atau cari tugas lain untuk dilakukan. Ketika memiliki kesalahpahaman dengan kolega kita, dan akan kehilangan kesabaran, kita harus mengetahui dengan jelas perasaan marah, dan menyadari niat kita untuk kehilangan kesabaran, amarah itu mungkin menurun. Jika kemarahan tidak dapat menurun pada saat itu, kita harus mengatakan alasan untuk meninggalkan itu sehingga kita dapat tetap waspada terhadap perasaan marah dan niat kita untuk kehilangan kesabaran.

Sebelum pergi tidur, luangkan waktu sejenak bersama diri sendiri dan ulas sepanjang hari, tanyakan pada diri sendiri “apakah ini tubuh yang sama dari pagi hingga sekarang?” Ketika akan berbaring di tempat tidur, jaga kewaspadaan yang jelas akan “ingin – merasakan berbaring – berbaring ”. Sebelum tertidur, jangan pikirkan apa pun selain tetap dengan pernapasan kita yang damai

______

Batam, 30 Mei 2019.

PIKIRAN ZEN 3


Pikiran Terbuka dan Kesadaran

“Pikiran terbuka” adalah salah satu karakteristik Jalan Zen. Berisi penerimaan, pengampunan, dan kesabaran. Tampaknya selalu lebih sulit untuk menerima satu hal dari pada menolak, karena setiap orang memiliki begitu banyak perbedaan dari yang lain, dan perbedaan itu akan menjadi alasan untuk menimbulkan perasaan tidak menyenangkan. Faktanya, hal-hal yang akan kita tolak tidak akan menimbulkan gangguan, tetapi sikap penolakan dapat menjadi sebab gangguan. Itu tidak berarti kita tidak punya hak untuk menolak. Ini berarti kita harus menerima bahwa segala jenis yang ada terdiri dari sebab dan kondisi yang berbeda.

Kita menolak sesuatu hanya karena tidak ada cukup alasan dan syarat bagi kita untuk mengambil ‘keberadaannya pada saat ini”, bukan karena  “membenci” keberadaan itu. – tidak peduli apakah itu benda, ide atau bahkan emosi. Dengan cara ini, kita bisa “memaafkan” hal-hal yang tidak kita sukai atau tidak setuju, pada saat yang sama, kita akan menyelamatkan diri kita dari kesal “oleh sikap” kebencian “.

Kita tidak dapat “menerima” atau “memaafkan” karena kita tidak memiliki cukup kesabaran dengan diri kita sendiri dan orang lain. Kesabaran dapat memberi kita lebih banyak waktu dan peluang untuk mengenali bahwa tidak ada ego yang tetap di balik bentuk (hal, gagasan, atau emosi …) untuk ditunjukkan. Dengan kata lain, meskipun seseorang harus mengambil tanggung jawab atas kesalahannya, baik “dia” maupun “kesalahan” tidak memiliki ego, dan orang yang marah tentang “dia” dan “kesalahan” juga tidak memiliki ego.

Ingatlah untuk berpikir seperti yang kita lakukan ketika melakukan meditasi. Kita harus “menerima” segalanya, seperti suara AC, suara mobil di luar, rasa sakit atau sakit tubuh kita atau bahkan pikiran yang berkelana. Mereka tinggal atau terjadi bersama kita, karena mereka hanya manifestasi dari “sebab dan kondisi”. Kita hanya menerima keberadaan mereka, dan tidak melekat pada mereka atau mengikuti mereka jauh karena itu bukan target meditasi. Perhatian dan konsentrasi kita pada “perut naik dan turun” tinggal bersama orang-orang di sekitar kita atau di dalam kita. Kita hanya dikunci oleh konsep komparatif, yang menghalangi kita untuk “melihat” semuanya sebagai “Satu”. Yang Esa tidak sama dengan segalanya, tetapi juga tidak terlepas dari segalanya.

Ada pepatah Cina yang disebut “Huo De Ming Bai” – “hidup dengan pikiran jernih”. Biasanya itu berarti memiliki tujuan atau sasaran yang jelas, dan itulah yang akan kita jalani. Beberapa orang hidup untuk berkarir, beberapa orang hidup untuk cinta, orang lain hidup untuk anaknya … Tapi kadang-kadang, tujuan mungkin membingungkan kita atau bahkan menyakiti kita ketika hasilnya tidak atau tidak akan menjadi apa yang kita inginkan. Kita harus memiliki tujuan, tetapi jangan menganggapnya sebagai “emas terakhir”. Kita harus mengurus apa yang telah kita miliki, tetapi jangan berharap memiliki kehidupan yang “tenang”. Ketika kita akan menangkap sesuatu yang kita inginkan, ketegangan akan muncul darinya. Ketika kita ingin menyimpan sesuatu yang kita cintai, rasa takut akan menyerbu pikiran. Sebenarnya, tujuan itu sendiri tidak akan membawa tekanan atau kesengsaraan, tetapi pemahaman dan sikap kita tentang tujuan itu yang menjadi sumber tekanan dan kesengsaraan

Seperti menonton pertandingan sepak bola, kita menikmati momen “Goal!”, dan juga proses untuk mencapai tujuan itu. Kita harus melihat bahwa “Tujuan!” adalah bagian dari momen seluruh proses. Tetapi “Tujuan!” Itu sendiri hanyalah momen “Tujuan!”. Jadi apa yang sebenarnya terjadi selama proses “pengaturan” tujuan dan mencapai tujuan?

Bentuk fisik dan bentuk mental disebut “Lima Agregat”: bentuk (bentuk fisik), perasaan, persepsi, kemauan / pembentukan mental, dan kesadaran. Misalnya, pada hari musim panas, kita berjalan di jalan. Ketika kita melakukan kontak mata dengan sebotol air jeruk dengan es (kesadaran), kita dapat mengidentifikasi bahwa itu adalah minuman dingin (persepsi), dan kemudian kita akan memiliki perasaan yang menyenangkan dengan “dingin” dan mungkin menjadi lebih haus (sensasi), maka kita berniat untuk memilikinya dan meminumnya.

Jika tidak ada kondisi “penahan”, kita akan mengubah keinginan ini menjadi kenyataan (kemauan/formasi mental). Dan selama proses untuk mengambil botol minuman itu, pertama kita merentangkan tangan dan menyadari peregangan (kesadaran), kemudian kita mengidentifikasi bahwa gerakan itu adalah “peregangan” (persepsi), jika tidak ada kesulitan untuk meregangkan, kita acuh tak acuh dari kebahagiaan atau ketidakbahagiaan (sensasi), maka kita hanya ingin menjaga gerakan ini sampai menyentuh botol minuman (kemauan) … kemudian ke siklus proses baru. Jadi sebelum kita “menetapkan” tujuan (kemauan dan potensi tindak lanjutnya), “kesadaran, persepsi, dan perasaan” satu demi satu mengarahkan aliran pikiran untuk mencapai suatu tujuan. Mereka hanyalah bentuk mental terus menerus yang berinteraksi dengan bentuk fisik.

Sementara masalahnya adalah bahwa kita memiliki ilusi bahwa kita berpikir ada “diri” (ego inheren independen) dalam setiap bentuk proses ini – “Aku” melihat / meregangkan, “Aku” mengidentifikasi, “Aku” merasakan dan “Aku” niat untuk melakukan … tetapi hampir di antara bentuk-bentuk yang terus berubah ini, tidak ada “aku” yang bisa ditunjukkan. Ini hanyalah sebuah proses dengan fungsi impersonal yang dinamis. Jika tidak ada “diri” yang melekat atau dicintai, tidak akan ada yang bisa dipahami dan disimpan untuk “diri”. Ini akan membawa sikap ketenangan hati, yang akan membantu kita mengatasi gangguan emosional pada “menang atau gagal”. Tetapi pada akhirnya, hanya ketika kita dapat mengalami proses-proses ini secara langsung dan jelas melalui perhatian, kita dapat terbebas dari risiko perangkap “diri”.

Selama meditasi jalan kita, konsentrasi kita adalah pada setiap langkah dalam proses: mengangkat-bergerak-jatuh, tidak perlu berpikir logis, hanya mengalami langsung. Karena setiap pemikiran yang terpengaruh akan memengaruhi kita untuk membaca realitas prosesnya. Jadi kami selalu mengatakan “Biarkan apa adanya”.

Tetapi pada saat yang sama, kita harus tahu mengapa kita melakukannya. Tujuan utama kita adalah untuk mengenali bahwa situasi nyata dari bentuk fisik dan bentuk mental tidak seperti apa yang kita lihat atau pikirkan secara normal di permukaan. Kaki dan tangan adalah bentuk fisik, gerakan mereka tidak hanya terkait dengan, tetapi juga berasal dari bentuk mental. Setiap langkah mencakup kelima kelompok unsur kehidupan dan tidak satu pun dari mereka yang memiliki “keberadaan yang melekat”. Setiap langkah adalah langkah kunci menuju kebenaran realitas dan kebebasan dari penderitaan.

Dalam kehidupan kita sehari-hari, kita selalu lebih menekankan pada “langkah kunci” karena tenggat waktu atau terjadinya peristiwa tertentu sekarang atau di masa depan, dan cenderung mengisolasinya dari “langkah normal” di masa lalu dan masa depan. Lalu kami menekankan semua pada “langkah kunci” ini yang akan menjadi “pahlawan” atau “pecundang yang tak termaafkan”. Ketakutan dan kekuatiran dari setiap “langkah kunci” adalah sumber tekanan pada sub-kesehatan kita sampai menjadi penyakit mental atau fisik yang jelas.

Kita perlu memahami bahwa “langkah kunci” adalah efek dari langkah-langkah yang telah kita buat dan penyebab untuk masa depan. Batas waktu adalah momen sementara untuk memanifestasikan hasil langkah-langkah yang telah kita buat dan juga titik awal untuk nanti, dan peristiwa spesifik adalah penyebab atau kondisi lain untuk langkah saat ini atau langkah-langkah selanjutnya. Yang disebut “langkah kunci” hanyalah “langkah normal” dengan sebab dan kondisi yang berbeda. Jadi yang dapat kita lakukan adalah menemukan cara yang lebih baik untuk berkoordinasi dengan penyebab dan kondisi ini, tanpa beban “takut gagal” atau “khawatir kehilangan”, karena itu adalah penyebab atau kondisi untuk meningkatkan stres dan kemungkinan kegagalan. Kita harus memilih apa yang bisa kita lakukan dan apa yang harus kita menyerah, dan ingat tidak ada yang benar-benar spesifik, sementara semuanya spesifik.

Dalam kehidupan kita sehari-hari, setelah menghabiskan banyak waktu dalam urusan yang rumit, kita sering merasa bahwa dunia terlalu berisik dan kita terlalu lelah untuk melanjutkan. Kemudian kita mencoba mencari tempat yang lebih tenang – tempat yang tidak terlalu rumit untuk menginap, jadi kita harus pulang atau berlibur. Setelah bertahan dengan kehidupan sederhana untuk jangka waktu tertentu, kita mulai merasa bosan dan “ketenangan” menjadi semacam tekanan lain untuk memaksa kita mencari hal-hal yang lebih menarik. Jadi kita berkata: “oh, saya benar-benar membutuhkan tempat yang lebih tenang untuk menemukan ketenangan.” Kita harus tahu bahwa “ketenangan” ini mungkin adalah ketenangan palsu, karena “ketenangan” ini hanya menunggu “kebisingan” lain muncul.

Seperti halnya meditasi duduk, adalah kesalahpahaman bahwa kita duduk untuk ketenangan. Meskipun meditasi duduk dan lingkungannya akan membawa ketenangan, itu bukan tujuan kita yang sebenarnya. Tujuan utama kita adalah untuk menumbuhkan kecerahan dan kedamaian batin, untuk mencapai ketenangan sejati, di mana stres, kebosanan atau penderitaan lainnya akan berhenti. Maka tidak perlu menemukan ketenangan tergantung pada lingkungan, kita bisa tetap tenang kapan saja. Jadi ketenangan sejati tidak berarti tinggal di tempat yang tenang dan memiliki hal-hal kecil atau tidak ada hubungannya, tetapi untuk bertemu dengan segala sesuatu dengan pikiran damai!

Dan kita harus waspada bahwa ketenangan palsu bisa menjadi topeng untuk membutakan pikiran jernih. Kami menyebutnya “ketenangan yang tidak peduli”. Itu bahkan lebih buruk daripada “kebisingan”, karena itu akan menghalangi kebijaksanaan. Ketenangan nyata berasal dari pikiran yang jernih, yang dapat merasakan keheningan yang hidup dalam segala hal. Ketenangan yang sebenarnya adalah ekspresi kedamaian, yang dapat “menelan” suara tidak peduli seberapa berisiknya itu. Ketenangan nyata tetap dengan kesabaran, yang akan membawa lebih banyak energi untuk menembus ke lapisan kebenaran yang lebih dalam …

Ada pepatah Tiongkok: “Ting Er Bu Wen – mendengar tetapi tidak mendengarkan, Shi Er Bu Jian – melihat tetapi tidak mengenali …” Apa yang membutakan telinga dan mata kita? Hanya ketika telinga, mata, hidung, lidah dan tubuh tetap dengan pikiran bersih yang jernih, mereka dapat bekerja paling efektif. Sama seperti ketika kita mungkin memakai kacamata yang tidak cocok atau kotor, meskipun kita dapat melihat hal-hal di depan kita, mereka tidak cukup jelas tentang bagaimana mereka sebenarnya terlihat.

Kita juga dapat menyebut “tetap dengan pikiran bersih jernih” sebagai “menjaga kesadaran”, yang berarti kita tahu persis proses yang terjadi, bukan hanya bagian dari keinginan. Ketika kita berpegang teguh pada fragmen hasrat, proses murni ditutupi oleh lampiran yang ditambahkan, sehingga kita tidak dapat melihat atau merasakan “mereka hanya apa adanya”. Ini akan menjauhkan kita dari kenyataan. “Realitas yang tercemar” akan membuat pikiran kita emosional dan tidak stabil, karena kita ingin menggunakan “apa yang kita inginkan” daripada “apa yang sebenarnya terjadi”. Terkadang mereka cocok, tetapi tidak bertahan lama. Untuk sebagian besar waktu mereka jarang dapat bertemu satu sama lain, karena mereka biasanya dua hal yang berbeda. Jika kita berpikir mereka bertemu suatu saat, harap berhati-hati, kita mungkin menipu diri sendiri. Inilah mengapa kita selalu merasa sulit untuk dipuaskan.

Seperti halnya meditasi duduk atau meditasi jalan, kita tidak boleh berpegang teguh pada “ingin duduk” atau “ingin berjalan”. Mereka hanyalah dua cara untuk mengalami proses murni, dan media untuk menumbuhkan pikiran yang jernih-bersih-stabil, untuk membangkitkan kebijaksanaan di dalam diri kita – pemahaman akan realitas nyata.

Pada awalnya, pikiran kita tidak “jinak” cukup untuk berhenti berkeliaran atau kehilangan. Kita mungkin gagal mempertahankan pikiran yang stabil, tetapi jangan kehilangan kesadaran lagi:). Kesadaran akan “pikiran yang tidak stabil” memiliki kekuatan potensial untuk menumbuhkan “pikiran yang stabil”.

Ada pepatah Cina: “untuk mengasah kapak tidak akan membuang waktu memotong kayu bakar.” Ini berarti bahwa menghabiskan waktu untuk mengasah kapak akan meningkatkan efisiensi pemotongan kayu bakar. Kesadaran dapat membuat pikiran kita menjadi lebih tajam, untuk membaca hal-hal lebih jelas, untuk membantu kita membuat keputusan yang lebih bijaksana dan tetap dengan damai dan mudah.

Kesadaran yang kita bicarakan memiliki beberapa karakteristik:

1 Kesadaran proses dari pembentukan mental untuk tindakan fisik, tidak hanya tinggal di permukaan bentuk.

2 Menjaga pikiran jernih pada “itu hanya apa adanya” tanpa menambahkan imajinasi atau harapan kita…

3 Menjaga kesadaran sama untuk hal-hal “baik” atau “buruk”, untuk pemikiran “baik” atau “jahat”, sehingga lebih mungkin untuk mengenali realitas hal-hal dan mengubah “jahat” menjadi “baik”. Karena kesadaran hanyalah kesadaran netral, ia dapat bertahan dengan apa pun. Kesadaran yang benar akan menumbuhkan pikiran yang lebih luas, lebih cerah dan lebih tulus.

Sama seperti berjalan ke suatu tujuan, jika kita menemukan jalan yang benar, kita harus terus berjalan sampai tiba di tujuan. Ini juga seperti mengebor kayu untuk membuat api, kita harus terus melakukannya tanpa henti. Tetapi pada awalnya, mudah untuk melupakan kesadaran dan jatuh ke dalam “inersia” dari bentuk mental dan fisik kebiasaan. Apa yang bisa kita lakukan adalah mendorong diri kita untuk memulihkan kesadaran sekarang dan ingat untuk menjaga kesadaran di masa depan.

Jangan merasa terlalu menyesal atau frustrasi jika kita kehilangan kesadaran, pulihkan kesadaran sebanyak yang kita bisa. Itu hanya kebiasaan lain yang harus dibudidayakan. Sebelum kita merasakan atau mendapatkan manfaat apa pun dari kesadaran, kita harus bersabar dengan latihan terus menerus. Seperti kita ketahui, perubahan kualitas selalu tergantung pada peningkatan kuantitas.

Kesadaran selalu ada, menunggu kita untuk membangunkannya.  (Bersambung)

_____

Batam, 30 Mei 2019.

CERITA SEORANG SAHABAT


Oleh Beni Yasin Guntarman

Dia sahabatku, seorang penyair dari Negeri Awan. Kulihat dia duduk termenung diri. Lalu aku menyapanya: “Ada apa dengan dirimu, kawan?”  Tampak terkejut, dia menoleh ke arahku, sambil berkata: “Ah, kebetulan sekali. Dari tadi aku hanya berbicara kepada batu ini,” ujarnya, sambil menunjukkan sebongkah batu gunung yang ada di hadapannya. “Duduklah di sini, dengarkan saja apa yang kukatakan, agar aku tidak terlihat seperti orang gila,” lanjutnya kemudian.  “Baiklah, aku mengerti…berceritalah sesukamu. Anggap saja aku sebagai patung yang bisa bicara dan mendengar,” sahutku.  Lalu sahabatku mulai bercerita:

“Malam semakin larut. Hening begitu terasa di hati. Sedari tadi aku merenungkan banyak hal yang terjadi dengan diriku akhir-akhir ini. Segala hal coba kubiarkan muncul di pikiran. Kubiarkan saja mereka datang dan pergi. Tidak coba menggenggamnya dan tidak juga menolaknya. Tidak coba kucari salah atau benarnya, tidak juga menilai baik-buruknya. Semua itu adalah realita yang telah dan tengah kuhadapi. Kenapa mesti kuingkari?

Kini muncul di pikiranku tentang seorang sahabat, seseorang yang banyak menguras energi pikiranku akhir-akhir ini. Keterbukaan masing-masing diri membuat kami jadi cepat terasa dekat. Ada banyak kecocokan satu sama lain. Tanpa terasa cinta tumbuh tanpa dapat dikenali secara pasti kenapa aku mencintainya dan kenapa dia mencintaiku.  Sama-sama menyadari sedari awal bahwa belum tentu kami bisa bersatu. Meski keinginan itu begitu kuat namun realita membuat kami menyadari keadaan.

Kukira kami telah membuat semuanya seaman mungkin agar pada akhirnya tidak ada yang tersakiti. Kesepakatan demi kesepakatan kami lakukan untuk membuat nyaman masing-masing diri mengingat kami terpisahkan oleh jarak ruang dan waktu. Hadirnya bagiku terasa anugrah yang tak pernah terpikirkan, dalam banyak segi ia merupakan sosok wanita yang sangat kuidamkan dalam hidupku. Aku dapat merasakan ketulusan hatinya dalam cinta dan kasih sayang. Namun tidak ada jalan hidup yang datar, indahnya hubungan kami kerap diselingi dengan pertengkaran oleh hal-hal yang sepele. Jauh di dalam lubuk hatiku tidak pernah menyalahkannya ketika akhirnya hubungan cinta itu harus berakhir setelah didahului oleh pertengkaran-pertengkaran yang melelahkan.

Akhirnya dia menjauh, menutup diri untuk tidak ingin lagi berbicara dengan diriku. Berbagai upaya kulakukan untuk melunakkan hatinya. Namun semuanya lenyap bagai ditiup angin gurun pasir. Sepertinya semua yang telah kulakukan sia-sia. Sepertinya sudah tidak ada lagi niat untuk saling menyapa dengan diriku, sebagai sahabat maupun sebagai teman biasa. Mungkin aku telah melukai hatinya begitu dalam. Berkali-kali telah kusampaikan permohonan maafku. Sepertinya masih berat baginya untuk memaafkanku begitu saja.

Sepertinya semua itu lumrah terjadi dalam hubungan jalinan cinta kasih. Namun ada suatu hal yang sering terpikirkan dalam banyak waktu dan kesempatan. Di satu sisi sepertinya dia tak ingin lagi terhubung dengan  diriku. Pada sisi lainnya aku merasakan getaran hatinya seolah-olah tak ingin kehilangan diriku.  Awal mulanya kuanggap itu cuma ilusi. Namun semakin hari keyakinanku semakin menguat bahwa sebetulnya dia hanya membutuhkan waktu untuk menenangkan hati dan pikirannya. Dia punya kesadaran lain yang tak dimiliki oleh wanita umumnya. Dia hanya membutuhkan seseorang yang sanggup bersabar terhadap dirinya, mendorongnya untuk menemukan rasa percaya dirinya kembali, dan percaya sepenuhnya pada apa yang tengah dia lakukan.  Mungkin dia ingin agar aku berlaku seperti itu.

Aku tidak ingin menilai itu sebagai suatu hal yang salah atau benar. Namun rasa rindu kadang mengganggu kesabaranku.  Sebetulnya aku merasa sanggup untuk menunggunya agar menemukan kembali rasa percaya dirinya.  Berusaha mengalah dan mengikuti apa maunya. Tetapi akal sehatku mengatakan bahwa ini tidak mungkin kulakukan bila tidak ada sinyal kata “tunggu” darinya. Telinga dan mata hatiku dapat menangkap suara hatinya yang dia sampaikan dari kejauhan.  Namun aku harus memastikan bahwa itu bukan “ilusi”. Lalu bagaimana caranya agar aku dapat memastikan itu semua? Bagiku jawabnya hanya satu: “dia harus bicara kepadaku, walau itu cuma sepatah kata ‘sabar’!” Aku masih menunggu itu, entah sampai kapan. Mungkin sampai hilang kata “sahabat” dari pikiranku.”

Aku tertegun mendengar cerita sahabatku tentang apa yang dia alami saat ini. Aku hanya mengatakan kepadanya: “Persahabatan kalian itu bagaikan alang-alang. Meski musnah terbakar kala musim kemarau, alang-alang tidak pernah musnah dari muka bumi ini. Setiap akarnya yang tertinggal di dalam tanah akan membuatnya kembali tumbuh menjadi alang-alang.  Akar alang-alang itu bagaikan benih cinta kasih antar sesama sahabat. Selagi masih ada benih kebaikan yang masing-masing kalian simpan dalam hati atas persahabatan yang telah terjadi maka selamanya kalian akan tetap tumbuh sebagai sahabat, tidak sedikitpun menyimpan rasa dendam dan sakit hati. Mengalir sajalah seperti Sungai Bengawan Solo….tidak perlu bermimpi menjadi gelombang yang mempengaruhi arus samudera.”

terlihat segar

meski belum berbunga

kembang anyelir

damailah dalam hening

bulan tetap milikmu

______

PIKIRAN ZEN 2


Perhatian Adalah Cahaya, Bersinar Dalam Ketidaktahuan Kita

Pernafasan memiliki ritme tersendiri, seperti halnya watermill. Ketika air mengalir lebih cepat, roda akan lebih cepat, ketika air mengalir lambat, roda akan lambat, ketika air tenang, roda akan diam. Pikiran kita seperti air, ketika pikiran kita tenang. Pernafasan akan tetap harmonis. Kita seharusnya mengalami pernapasan tanpa gangguan. Jadi kita harus selalu mengatakan: lihat saja dan jangan berharap menjadi.

Perut naik dan turun adalah bentuk pernapasan yang nyata, dan itu adalah yang paling jelas. Kita tidak bisa mengenali bahwa seluruh tubuh kita melakukan hal yang sama. Ketika kita sadar akan naik dan turunnya, kita mengolah daya tembus ke dalam fenomena. Itu sama dengan menjaga perhatian pada hal lain yang kita lihat, dengar, cium, cicipi, atau sentuh. Kita seharusnya tidak tertipu oleh indera kita.

Ketika pikiran kita menjadi lebih tajam, itu tidak berarti kita menjadi lebih bijaksana, tetapi lebih mampu mengenali apa yang sebenarnya. Karena ketika kita semakin dekat dengan hal-hal yang sebenarnya, pikiran kita akan mencerminkannya dengan lebih tulus.

Ketika kita berada dalam meditasi jalan, pikiran kita menyertai proses gerakan; langkah pengangkatan, langkah bergerak,? langkah jatuh, dan? memutar tubuh; seperti bayangan yang menyertai tubuh kita. Perbedaannya adalah bahwa bayangan adalah bayangan tubuh dalam cahaya, tetapi perhatian adalah cahaya, yang bersinar melalui bayangan ketidaktahuan kita.

Kita harus belajar meditasi dengan pikiran normal dan sabar. Di rumah, sebelum kita melakukan meditasi duduk, pada awalnya, kita harus melepaskan pikiran dari urusan sehari-hari dengan membiarkan gerakan kita melambat dan santai. Kita dapat melakukan beberapa hal sederhana, seperti membersihkan meja atau lantai, melakukan latihan pemanasan, membuat area duduk rapi, dll. Kemudian kita duduk dalam posisi lurus dan stabil secara alami. Sebelum berkonsentrasi pada target meditasi tertentu, kita harus mengambil napas dalam-dalam, dan merasakan keadaan seluruh tubuh kita dan relaksasi. Dengan menenangkan napas dan tubuh, target meditasi akan muncul secara alami, seperti perut naik dan turun.

Untuk melihat fenomena itu benar-benar seperti mendengarkan bunyi bel, bagaimana kita bisa membedakan getaran berantai dari “bunyi bel”? Ketika tongkat kayu mengetuk bel, bel berdering dan tongkat bergetar. Tetapi biasanya kita akan mengabaikan getaran tongkat, hanya karena kita tidak dapat mendengarnya. Tapi itu tidak berarti itu tidak ada. Telinga kita hanya bisa mendengar bunyi getaran bel, dan kita akan berkata: “kita mendengar suara bel.” Ketika satu suara menghilang, kita akan berkata: “kita tidak bisa mendengar suara bel ini. lebih. ”Kami menganggapnya sebagai satu suara, karena kami tertipu oleh getaran beruntun. Kita harus bertanya: “mengapa suara menjadi lebih kecil dan lebih kecil sampai menghilang?” Setelah momen pertama mengetuk, getaran pertama terbuka dan menghilang, sementara membuat getaran lainnya pada saat yang sama; dengan memaparkan dan memudarnya getaran lainnya, getaran lainnya disebabkan … satu demi satu. Mereka tidak sama, tetapi mereka juga bukan dua. Getaran menjadi semakin lemah dan semakin lemah, hingga terlalu kecil untuk didengar. Tapi itu tidak berarti itu berhenti …

Jangan menarik atau mendorong diri untuk bermeditasi, seperti kita baru saja keluar dari kegelapan, akan butuh waktu untuk terbiasa dengan kecerahan. Menarik dan mendorong niat akan menyebabkan ketegangan, ketakutan, dan tekanan. Bagaimana kita bisa menyesuaikan diri menjadi “hanya antara menarik dan mendorong”? Ada niat yang muncul dan pada saat yang sama memudar, kita tidak akan berpegang teguh pada niat yang muncul atau memudar, yang terus muncul dan memudar memanifestasikan aliran kesadaran. Kita hanya memiliki pikiran yang jernih tentang ini tetapi tidak ada keterikatan dengannya.

Terkadang, kita akan berjalan-jalan setelah makan malam dengan anggota keluarga, dan kita mungkin mengobrol selama berjalan-jalan. Tidak peduli seberapa jauh kita berjalan jauh dari rumah atau berapa banyak topik yang kita diskusikan selama berjalan, kita tetap akan kembali ke rumah tanpa tersesat atau hilang satu langkah pun. Apakah kita harus mengingatkan diri kita sendiri jalan pulang? Apakah kita harus memberi banyak perhatian ketika kita berjalan kembali secara alami? Tidak. “Rumah” selalu ada di pikiran kita tanpa memberi terlalu banyak niat untuk itu.

Kita seharusnya menganggap ketegangan atau pengembaraan sebagai semacam fenomena alam, yang disebabkan oleh kondisi tertentu. Ketika kondisi ini hilang, fenomena yang disebabkan oleh kondisi ini akan hilang juga. Kita hanya harus memahami dengan jelas apa kondisi-kondisi ini dan bagaimana melepaskannya. Jika kita tidak memiliki pikiran yang jernih tentang hal ini dan mencoba untuk melawan, perlawanan akan menjadi kondisi ekstra untuk menjaga atau bahkan meningkatkan ketegangan dan tekanan. Sama seperti mengangkat busur dan anak panah tanpa tahu di mana targetnya. Itu adalah pemborosan energi diri.

Menjadi sadar pada naik dan turunnya perut adalah menumbuhkan pikiran bersih yang jernih untuk menembus esensi fenomena. Kita akan menemukan bahwa naik dan turunnya perut adalah suatu bentuk pernapasan, pernapasan adalah bentuk kesadaran, dan kesadaran dapat disebut bentuk mental. Jadi perhatian naik dan turun secara fisik akan menuntun kita pada naik dan turunnya pikiran kita — kontak dengan bentuk, perasaan tentang bentuk, persepsi bentuk dan niat untuk menjaga bentuk …

Vas yang terlihat cantik bisa menjadi bentuk, kata-kata pujian bisa menjadi bentuk, emosi kebencian bisa menjadi bentuk … ketidakseimbangan, kecemasan, ketakutan, dan tekanan kita disebabkan oleh bentuk-bentuk ini, tetapi siapa yang menciptakan bentuk-bentuk ini untuk memicu kita? Vas yang cantik itu terdiri dari tanah, air, api, dan glasir; vas hanyalah konsep dari elemen-elemen ini. Pada saat yang sama, unsur-unsur ini memudar. Kata-kata pujian terdiri dari kata-kata, bunyi suara, sikap memuji dan orang yang emosional. Kata-kata pujian hanyalah bentuk kolektif dari elemen-elemen ini, yang berubah sepanjang waktu. Emosi kebencian terdiri dari “musuh”, saat terjadi yang tidak bahagia, sikap tidak puas, yang juga berubah menjadi situasi yang tidak diketahui …

Bentuk-bentuk itu benar-benar ada, tetapi bentuk-bentuk itu tidak pernah berhenti berubah dan tidak ada diri yang melekat di dalam bentuk! Segala macam penderitaan dan kesengsaraan kita berasal dari khayalan ‘keabadian’ dan ‘diri yang melekat’. Kita masing-masing memiliki nama, tetapi konotasi nama itu tidak kekal dan tidak ada diri yang melekat: tubuh tumbuh dan mati, arus pikiran mengalir, properti di bawah nama berubah … jadi “AKU” hanya bentuk perubahan dari pengumpulan sebab dan kondisi, dan “AKU” hanyalah manifestasi dari efek sementara. Sekarang, kita melihat bahwa “keabadian” yang ingin kita pertahankan atau “diri yang melekat” yang ingin kita jaga hanyalah ilusi. Apa yang kita pikirkan sekarang?

Malam ini, hujan sangat deras di luar, jadi kita memiliki kesempatan untuk melakukan meditasi mendengarkan-hujan. Suara hujan memenuhi telinga kita dan mengisi pikiran kita. Kita tidak akan menikmati suara hujan di awal, kemudian bosan dengan itu nanti. Pikiran jernih kita hanya tinggal dengan suara hujan. Ketika suara hujan lebih berat, kita tahu itu lebih berat; ketika suara hujan lebih ringan, kita tahu itu lebih ringan. Kadang perubahan itu jelas, kadang perubahan itu halus, tetapi kita semua mengerti dengan jelas. Sampai hujan berhenti, awan-awan menghilang atau melayang, untuk memulai hujan lagi. Selama meditasi, kita tinggal dengan perubahan dan kita mengalami ketidakkekalan bersama dengan hujan.

Dan jika kita mendengarkan dengan seksama, kita akan menemukan bahwa “suara” hujan bukanlah suara “hujan”. Itu adalah suara hujan yang jatuh di tanah, itu adalah suara hujan yang menghantam atap, itu adalah suara hujan yang menyapu dedaunan, cabang, jendela … apa sebenarnya suara hujan yang menyentuh pikiran Anda? “Suara hujan” adalah manifestasi sementara, yang muncul dan menghilang pada saat yang sama.

Tidak ada target pasti untuk meditasi. Apa pun yang dapat Anda lihat, dengar, rasakan, atau apa pun di sekitar dapat menjadi sasaran meditasi. Apa pun yang kita dengarkan, lihat atau rasakan, itu didengarkan, dilihat dan dirasakan oleh pikiran. Tetapi pada saat yang sama, kita harus menemukan target yang mudah dan stabil untuk meditasi setiap hari, sehingga kita dapat berlatih terus menerus. Seperti perut yang naik-turun dan proses melangkah.

Kita tidak duduk untuk duduk, tetapi untuk menumbuhkan cara berpikir dan pandangan hidup. Kita tidak duduk untuk ketenangan sementara, tetapi untuk membangkitkan ketenangan di setiap momen kehidupan. Jangan memisahkan latihan Zen dari kehidupan sehari-hari Anda.

Tidak peduli apa pun yang dihadapi, momen pertama harus mengingatkan diri kita untuk tetap penuh perhatian. Karena apa pun yang akan kita lakukan untuk hal ini, kita harus tahu dengan jelas apa yang sebenarnya terjadi, dan memiliki konsentrasi yang tepat untuk menghadapinya. Perhatian memiliki beberapa karakteristik 1. Mengenali dan mewaspadai 2. Tetap dengan dan tidak kehilangan 3. Tetap waspada dan ingat 4. Jelas pada saat ini 5. Stabil dan tidak mengambang.

Jadi dalam satu kalimat, “untuk memiliki pikiran yang stabil dan jernih untuk mengenali apa yang terjadi pada saat ini, dan tetap bertahan tanpa mengabaikan atau mengabaikan.” Pada saat yang sama, kita dingatkan untuk tidak berpegang teguh pada apa pun atau perasaan apa pun, mereka hanyalah media untuk membantu kita memahami kebenaran di balik fenomena.

Perhatian itu penting, karena itu akan memengaruhi seberapa banyak realitas yang dapat kita rasakan pada saat pertama. Ini akan menentukan pandangan kita tentang realitas dan cara berpikir, yang akan menghasilkan reaksi berikut. Pada saat yang sama, perilaku kita adalah respons interaktif yang berkelanjutan terhadap lingkungan, mulai dari pembentukan mental hingga tindakan fisik. Hanya ketika kita dapat menjaga perhatian sebanyak yang kita bisa, akan ada semakin banyak realitas nyata untuk tercermin dalam pikiran kita. Ini akan mengarah pada tindakan yang benar dan ketekunan yang benar. Dengan cara ini, kita dapat menghemat banyak energi dan menghindari menyakiti orang lain dan menjaga diri kita sendiri, dengan tetap damai dan tenang . (Bersambung)

____

Batam, 25 Mei 2019.